Saturday, March 3, 2018

Dayah: Mana Janji Manismu?

dayah tradisional
'Politik ethis' yang dilancarkan oleh Ratu Belanda tahun 1901, telah merangsang semangat golongan Pribumi (inlander) dan Timur Asing untuk mendirikan organisasi keagamaan, politik, kepemudaan dan Mahasiswa di Pulau Jawa khususnya. Sementara itu, implikasi 'politik ethis' terhadap Aceh ialah, memberi jaminan terhadap eksistensi agama dan adat-istiadat. Oleh itu, para Ulama yang tidak terjun ke kancah peperangan bersenjata, melapor diri kepada militer Belanda bahwa, setibanya di kampung masing-masing akan merenovasi dan membangun Rangkang/Dayah kembali, sekalipun 'ditentukan syarat-syarat yang harus dipatuhi dan pengawasan yang ketat sekali. (Dada Meuraksa: 1990).

Maka sejak tahun 1904, Rangkang-rangkang dan Dayah-dayah yang telah hancur semasa perang, dibangun semula disamping membangun dayah-dayah yang baru, seperti Dayah Kreungkalé, Tengku Syech Abdul Wahab membangun Dayah Tanoh Abè; Haji Abbas dan Haji Ja'far membangun Dayah Lambirah. Di Aceh Barat, keturunan Tengku Muhammad Yusuf membangun Dayah Rumpet; keturunan Tengku Thjik Muhammad Amin Tiro membangun Dayah Blang, Dayah Lampoh Raya, Dayah Tiro, Dayah Cot Pliëng dan Dayah Cot Jurong (Ali Hasjmy: 1997). 

Tengku Abdussalam membangun Dayah Lamnyong; Tengku Haji Umar membangun Dayah Lham U, Tengku Syech Marhaban membangun Dayah Lambhuk, sementara Ulama-ulama lainnya membangun Dayah Ulèë Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong; Tengku Fakinah membangun Dayah Lamkrak (Dayah Lamdiran); Tengku Chik Eumpê Triëng membangun Dayah Rangkang Kanyang; Tengku Chik Ulèë U membangun Dayah Ulèë ü. Tengku Chik Rundéng membangun Dayah Rundêngo; Tengku Muhammad Arsyad membangun Dayah Ië Leubeue; Tengku Yusuf membangun Dayah Meunasah Raya dan di Teupin Raya dibangun pula Dayah Teupin Raya. (Ibid, Dada Meuraksa, 1990). Dibangun Madrasah Khairiyah oleh Tuanku Raja Keumala tahun 1915, setelah menyerah kepada Belanda pada tahun 1903. 

Selain dari Ulama tadi, terdapat juga petinggi negara yang telah menyerah, seperti Teuku Panglima Polim Muhammad Daud dan Tuanku Raja Keumala, yang awalnya hendak meneruskan perjuangan bersenjata melawan Belanda, tetapi dengan perhitungan tertentu pada tahun 1903, memutar haluan kepada perjuangan politik, dengan alasan untuk memimpin persatuan umat dan keteguhan semangat demi bergerak kembali menghancurkan kolonial Belanda, jika saat yang tepat sudah tiba. (Dada Meuraksa: 1990). 

Untuk itu, mereka merekrut sederetan Ulama, seperti Tengku Hasan Kruengkalé, Tgk. Syech Ibrahim Lambhuk, Tgk. H. Abas Lambirah, Tgk. Ba Jafar Lamjabat, Tgk. Syech Saman Siron, Tgk. H. Hasballah Indrapuri, Tgk. B. Abdullah Lam U, Tgk. Usman Lampaloh, Tgk. Bintang Reukieh, Tgk. Syech Mhd. Lam Lhom, Tengku Abdussalam Meuraksa, Tgk. Paki Lamkrak, Tengku Teupin Kaya, Tgk. Abdul Jalil Awé Geutah, Tgk. Muhammad Saleh Pulo Kiton, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Umar Tiro dan disokong oleh para ulama besar di seluruh Aceh sebulat suara; walau pun pemerintah Belanda tetap mengawal gerak langkah mereka, sambil mengawasi para jama'ah haji dari Aceh ke Mekkah, karena khawatir akan menyebarkan idea Pan-islamisme dari Arab, yang berlawanan dengan kepentingan politik kolonial Belanda di Aceh. (Ibid, Dada Meuraksa: 1990) 

Sehubungan dengan politik perang baru di Aceh, maka fungsi Dayah-dayah, selain sebagai pusat pengajian Islam, juga digunakan sebagai markas untuk membina kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan kepada ajaran Islam untuk mendapat keredhaan Allah menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Dengan perkataan lain, merubah formula politik pendidikan Islam berkarakter Aceh, yang tujuannya untuk ikut serta berpartisipasi dalam pemerintahan kolonial Belanda di Aceh.' (Ibid, Dada Meuraksa, 1990.) 

Untuk itu, Dayah di Tiro, yang memakai 'model totalitas tradisional memakai pendekatan rahmatan lil'alamin, berjiwa patriotik dalam melawan penjajahan maupun mendukung gerakan-gerakan yang menentang terhadap pemerintah yang zalim, menitik beratkan kepada transfer ilmu pengetahuan umum maupun agama dipakai sebagai basis. Dayah ini tidak memiliki nilai tawar pihak mana pun. (Mukhlisuddin Ilyas: 2012). Sementara Dayah Muda Wali di Aceh Selatan, dinilai lebih modern dan cenderung sekuler, karena muatan sylabusnya bertumpu kepada pencapaian aspek intelektual, tanpa mementingkan keadaan lingkungan masyarakat sekitar. (Ibid, Mukhlisuddin Ilyas: 2012). 

Kedua-dua model Dayah Dayah Tradisional dan Dayah Modern, ternyata bukan saja terperangkap kedalam jaring politik dan sistem pendidikan kolonial, akan tetapi juga tidak mampu menjadi perisai mempertahankan diri identitas pendidikan tradisional Aceh. Akibatnya, nasionalisme Aceh yang mencakup: institusi ke-Sultanan, harga diri, identitas politik, ekonomi, konstitusi (Meukuta Alam), mata uang, bendera, sistem dan struktur pemerintahan, lambang, Stempel runtuh berkecai. Di atas puing-puing reruntuhan inilah, kemudian berdiri tegak nasionalisme Indonesia dan negara Indonesia. Disinilah rakyat Aceh mengibarkan bendera Merah Putih pada tahun 1945. 

'Habib Muda Seunagan memutuskan untuk mengibarkan bendera (Merah Putih) di Seunagan…. siap menanggung resiko apapun yang akan terjadi (Sehat Ihsan Shadiqin, Mukhlisuddin Ilyas, Ardiansyah: 2015). Artinya, pada phase ini, selain Aceh tidak lagi mempunyai pempimpin nasional, juga dianggap sebagai 'phase terakhir keberadaan Dayah gerakan di Aceh pada abad ke-20, sekaligus berakhirnya peran Dayah gerakan dalam dinamika pergolakan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. (Mukhlisuddin Ilyas: 2017) 

Sebetulnya, saat putera Aceh, seperti Teuku Njak Arif, Tengku Muhd. Daud Beureuéh, Tengku Abdul Wahab Seulimum, Tengku Hasan Krueng Kalé, Dr. Mohammad Majoedin, Abdullah Husén, Teuku Muhammad Ali Panglima Polém dan Teuku Ahmad Juenéb sudah tahu pasti tentang keabsahan berita kemerdekaan RI, sungguh bijak sekiranya putera-putera Aceh (Ulama, anggota kerabat Sultan Aceh, Ulèëbalang, aktivis Dayah) bermusyawarah untuk membentuk sebuah komite ad-hok, sekaligus mengambil keputusan bahwa penyerahan kuasa sivil dan militer dari junta militer Jepang, hanya diserah kepada komite ini, bukan kepada pihak luar; karena perjuangan Aceh menentang kolonialisme merupakan sebuah perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa Aceh; bukan sebuah perjuangan mendirikan negara lain. Lagi pula ‚Aceh memiliki rumah masa lampau yang dianggap masih begitu dekat dengan sejarahnya. (Prof. Dr. Salim Said, 2017). 

Artinya, Aceh mempunyai hak legal (legal Status) untuk menentukan nasib masa depannya. Namun, peluang yang berharga ini tidak dimanfaatkan sebagaaimana mestinya. Jepang justeru menyerahkan jaminan keamanan di Aceh kepada kuasa asing yang bermarkas di Singapura, sementara kuasa sivil Aceh diserah kepada Teuku Muhammad Ali Panglima Polim (wakil pemerintah RI di Aceh) atas perintah dari Teuku Njak Arief (Residen Aceh). Tatkala situasi Aceh seperti ini, para Ulama dan aktivis Dayah, yang sejak tahun 1911-an telah mengkader pejuang bersenjata dan diplomatik, saatnya bersaksi di depan cermin sejarah untuk mengambil alih kuasa dari Jepang. 

Namun Ulama & aktivis Dayah ini penakut (tjeuek), disebabkan mengalami krisis identitas, merasa rendah diri (inferiority complex), kehilangan ruh melawan penjajah Belanda dan secara perlahan-lahan nasionalisme Aceh pun tersungkur dan terkapar. Dipercayai, antara faktor penyebab keterbelakangan berfikir Ulama dan aktivis Dayah dalam konteks politik ke-Aceh-an priode (1942-1945), berpunca dari muatan sylabus pendidikan Dayah yang hanya tertumpu kepada bidang munakahat, jenayah, waris, muamalah saja; sebaiknya mengenyampingkan aspek siasah dan korelasinya dengan pergolakan yang berlaku dalam peradaban Islam, seperti kajian tentang faktor-faktor kejayaan dan keruntuhan kekahfihan Bani Umayyah (661-750), Bani Abbasyiah (750-1517), kemunculan Bani Umayyah jilid ke-dua (756-1031) yang kemudian juga runtuh; kejayaan dan keruntuhan kekhalifahan Oesmaniyah Turki (1299-1924); yang kemudian giliran kolonial Barat muncul sebagai kekuatan baru mengambil alih, setelah mengalahkan kekuatan Islam melalui perang Salib yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan politik perluasan wilayah di kurun masa abad ke-11 sampai 13. 

Seiring dengannya; dunia Islam -terutama di Zazirah Arab, Afrika dan Asia- jatuh berguguran satu demi satu. Pada hal, kader Dayah semestinya menjadi kekuatan penggerak perubahan (agent of change) moral, kehidupan sosial kemasyaratan dan juru bicara kebenaran agama dan politik. Tegasnya, sylabus Dayah di Aceh (priode: 1911-an sampai 1945), tidak mengkaji tentang arti pentingnya hubbul wathan (cintai tanah air) Aceh dan faktor-faktor yang mengantar Aceh menjadi sebuah negara masyhur pada abad ke16-18), yang kemudian dihimpit oleh dua kekuatan -kekuatan asing dan dalam negeri Aceh sendiri- hingga tersungkur di separuh abad ke-20. 

Dalam rentang masa transisi, kekalutan politik, perasan jiwa tidak stabil dan tidak percaya diri inilah, menjelma putera-putera Aceh opportunis, dengan gerak cepat merebut peluang dan menyeret Aceh kedalam kancah politik baru Indonesia yang sedang bergelut di Batavia. Terbukti bahwa, permainan politik menjelang dan fasca kemerdekaan Indonesia, dikuasai dan DIDOMINASI oleh putera-putera Aceh berhaluan nasionalis. Diakui bahwa terdapat PUSA, Ulama independen dan aktivis Dayah yang pada era itu sudahpun menyandang gelar `Tengku Thjik', dianggap masih peka dan memberi perhatian terhadap situasi politik yang berlaku di Aceh; akan tetapi keberadaan mereka seumpama 'bayi tabung' (generasi Aceh) yang kehilangan kontak emosional lahir-bathin dengan Induknya (negara Aceh). 

Perasaan nasionalisme Aceh tiba-tiba tidak lagi bergetar di dada mereka, sembari mensucikan diri dalam kolam kesunyian dan kepedihan! Nasib masa depan Aceh akhirnya, ditentukan oleh segelintir putera Aceh berhaluan nasionalis yang sebelumnya telah terpengaruh dengan politik kolonial Hindia Belanda, Jepang, ajaran demokrasi dan nasionalisme yang diperkenalkan oleh politisi inlander dari luar Aceh. Kalangan Ulama & aktivis Dayah, selain tidak mampu mengimbangi pertarungan ideologi dan politik kontemporer melawan kelompok nasionalis (1942-1945), juga terpaksa membiarkan dan menyaksikan mereka mempertontonkan goyang tarian 'nasionalisme Indonesia' yang lincah, sekaligus mendominasi rumusan arah tujuan politik masa depan Aceh untuk dimasukkan kedalam wilayah RI. 

Kalangan nasionalis Aceh inilah yang telah berjasa menghancurkan nasionalisme Aceh berkeping-keping dan di atas puing-puing reruntuhan itu, dibangun jasad baru, yaitu INDONESIA yang sesungguhnya bukanlah impian dan aspirasi dari bangsa Aceh pada ketika itu. Lantas, fungsi Dayah yang dijanjikan, selain sebagai pusat pengajian Islam, juga sebagai pusat pembinaan kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan kepada ajaran Islam.., tokh hasilnya nihil. Lelah menunggu janji manismu!

Thursday, December 7, 2017

Aceh, Suci dalam Debu

Masjid Raya Baiturrahman
WAJAH ketulusan politik dan identitas kebangsaan Aceh yang diperagakan lewat hubungan Internasional, regional, termasuk format kebijakan politik dalam negeri, hanya dapat dikenali dalam catatan sejarawan yang kemudian dipakai menjadi referensi. Identitas kebangsaan Aceh serupa itu, tidak dikenali dalam realitas politik yang disaksikan sekarang. 

Kebelakangan ini kita baru tahu dan sadar, kalau Aceh sebuah bangsa yang memiliki tamadun berteraskan Islam, pernah menawarkan identitas kebangsaan Aceh melalui ketulusan politik kepada kekhalifahan Osmaniyah Turki, sambil menyerahkan ’bungong jaroë’ berupa Lada dan bendera Aceh. Saat berlabuh di pelabuhan Ankara, diplomat Aceh mengibarkan bendera Turki di atas geladak kapal Aceh, sebagai isyarat mau bersahabat, sekaligus menyatakan tunduk dan meminta diikut-sertakan menjadi salah satu negara di bawah perlindungan kekhalifahan Turki. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1520. 

 Diplomat Aceh menunggu lebih dari sebulan lamanya dalam kapal, sebelum diterima oleh penguasa Turki. Tawaran identitas kebangsaan Aceh akhirnya diterima dan membuahkan hubungan persahabatan antara kedua-dua negara dan terus kekal hingga meletus perang antara Belanda-Aceh pada tahun 1873. Turki kemudian membalas tawaran Aceh dengan mengirim perlengkapan senjata perang untuk menghadapi kekutan Belanda, setelah Sultan Ibrahim Alaidin Mansur Syah (1838-1870) mengirim surat secara resmi kepada penguasa Turki. Meriam yang diberi oleh pemerintah Turki dengan mana ’Lada Sicupak’ kini disimpan dalam Mesium militer di Bronbeek, Arnhem, Nederlands. 

Dari sudut pandang moral politik dan hubungan Internasional; tawaran identitas kebangsaan Aceh bersulam ketulusan hati (common sense) kepada pemerintah Turki, adalah merupakan sebuah tradisi terhormat dalam sejarah perjalanan tamadun manusia. Tradisi memperkenalkan dan menawarkan identitas kebangsaan dengan ketulusan politik yang demikian, sudah pernah diIakukan oleh Rasulullah, ketika mengirim sepucuk surat kepada raja RUM dengan menyebut ’Dari Muhammad Rasulullah/Hamba Allah, kepada Harikal ’Adhim ar-Rum’ pada kepala surat. Pemberian gelaran ’harikal ’adhim’ merupakan simbol identitas Islam yang sangat mulia. Selanjutnya Baginda menulis ”…. Aku menyeru engkau dengan seruan Islam. Islamlah! niscaya engkau selamat. Allah memberi pahala kepadamu dengan dua jenis. Pertama, kepada engkau. Kedua, rakyat engkau. Jika engkau berpaling, maka engkau menanggung dosa rakyatmu…” (Teks lengkap tersimpan di Mesium di Istanbul, Turki). Pangeran Maurits van Nassau, juga mengamalkan tradisi menawarkan identitas kebangsaan Belanda melalui surat yang dikirimnya kepada Sultan Alaudin Ali Riayat Syah IV (1589-1604) dengan menyebut ’Sri baginda yang mulia dan yang Maha berkuasa.’ Surat tersebut ditutup dengan mengucap ’Kami cium tangan Sri Baginda’ (Yusra Habib Abdul Gani: 2008, hlm. 169). Maurits bahkan mengadu kepada Sultan Aceh prihal penderitaan bangsanya di bawah jajahan Sepanyol. Belanda respek dan simpathi dengan sikap politik Aceh yang telah memberi pengakuan (recognation) bahwa Belanda adalah negara merdeka, di saat Belanda masih lagi merupakan salah satu dari 17 Provinsi di bawah jajahan Sepanyol. Namun, ketulusan politik Belanda tercoreng, apabila Belanda menganggap telah melakukan kesalahan karena telah mengakui bahwa, Aceh sebagai sebuah negara merdeka melalui Traktat London tahun 1824. Bahkan memprovokasi segelintir Ulèëbalang hingga nekad mengibarkan bendara Belanda di Idie, Aceh Timur dan menolak membayar pajak kepada pemerintah Aceh. Peristiwa ini berlaku, justeru setelah perjanjian persahabatan antara Belanda-Aceh ditandatangani pada tahun 1857. Tragisnya, Inggeris yang menandatangani perjanjian Raffles 1819, terpengaruh dan sanggup mengkhianati Aceh lewat ’Perjanjian Sumatera’ tahun 1871. ’Inggeris membatalkan Perjanjian itu pada tahun 1871 dan Aceh membatalkannya pada 1 Mei 1873.’ (Anthony Reid: 2007, hlm 150.) Pada hal Ratu Inggeris pernah menawarkan identitas kebangsaannya kepada Aceh, yang diutarakan melalui surat diplomatik kepada Sultan Iskandar Muda. Jenderal de Beaulieu juga pernah menawarkan identitas kebangsaan Perancis dengan ketulusan politik melalui sepucuk surat dari kepala negara Perancis yang diserahkannya kepada Sultan Iskandar Muda. Surat tersebut dibalas dengan tulisan bertinta emas, yang antaranya menyebut, ’berhubungan dengan tawaran, apakah saya memerlukan sesuatu dari Perancis, saya sampaikan melalui Kapten Jenderal de Beaulieu sebuah laporan untuk menunjukkan betapa besar penghargaan saya, dan saya katakan pula jika Allah mengarahkan surat ini dengan selamat, saya mengharapkan jawaban dengan kapal-kapal yang bakal datang dengan muatan barang dagangan….’ (Lihat: Yusra Habib Abdul Gani: 2008, hlm. 164). Betapa pentingnya moralitas dan identitas kebangsaan ini, nampak dari prilaku seorang Ulèëbalang di Aceh Timur, dimana pedagang Perancis pernah menitipkan barang dagangannya selama jangka masa 2 tahun lamanya, tanpa mengalami kerusakan apa pun, sebab dijaga dengan amanah. (Anthony Reid: 2007) Fragmen-fragmen identitas kebangsaan Aceh dan ketulusan politik terhadap sesama masyarakat Islam maupun non-muslim yang mengagumkan ini terlaksana karena Aceh dihormati sebagai sebuah negara merdeka. Kekaguman bangsa luar terhadap Aceh, masih tetap menyerah hingga abad ke19. Namun begitu, kegemilangan tersebut, tiba-tiba reduk dan terhempas oleh kencangnya badai ideologi kolonialisme yang diperagakan oleh kolonial Eropah, yaitu ketika kuasa Eropah terlibat dalam pertarungan kepentingan politik, ekonomi dan keamanan di Selat Melaka dan Sumatera, fasca perang Eropah tamat tahun 1815 yang melibatkan Perancis, Inggeris, Sepanyol dan Belanda. Sejarawan mencatat bahwa konflik Internasional ini berpengaruh kepada Aceh, karena posisi Aceh merupakan penentu kestabilan keamanan di Selat Melaka dan Sumatera. (Lem Kam Hing: 1995). Memasuki abad ke-20, posisi Aceh mulai terhimpit oleh dua kekuatan –yaitu munculnya kuasa Eropah yang menanam benih ideologi nasionalisme dan demokrasi kepada anak jajahannya dan sikap politik Eropah yang mengisolasi dari peta politik Internasional, karena dinilai Aceh telah kehilangan sahabat setia, seperti Turki dan Inggeris– hal ini terbukti kemudian bahwa, kedua masalah inilah yang melilit hingga Aceh tidak dapat lagi membebaskan diri dari perangkap itu. Lebih dari itu, Aceh dikepung, disembelih dan dilapah bersama-sama oleh kuasa Eropah dan anak-anak wathan yang telah terpengaruh oleh ajaran nasionalisme dan demokrasi Barat. Seiring dengan itu, identitas kebangsaan Aceh tenggelam ke dasar lautan, yang hampir-hampir tidak dapat dikenali lagi wujudnya. Aceh menghilang dari pentas politik Internasional dan nama Aceh pun tidak lagi bergetar di dada masyarakat Melayu. Berangkat dari fenomena sosial-politik dan sejarah inilah, Hasan di Tiro bangkit bersaksi di depan cermin sejarah Aceh dengan menyatakan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Keputusan politik ini sebenarnya untuk menghadirkan identitas kebangsaan Aceh yang telah menghilang, menghidupkan jiwa-jiwa yang mati agar bangkit membangun mimpi-mimpi tentang fragmen-fragmen identitas Aceh yang sudah tenggelam diangkat ke permukaan, agar ianya hidup bersemi dalam kehidupan bangsa Aceh, karena identitas kebangsaan yang tersimpan dalam ’fragmentasi masa lalu Aceh yang tenggelam itu, bukan saja telah terjadi proses kehancuran; tetapi juga terjadi kristalisasi yang terjadi di kedalaman laut, dimana ia tenggelam dan merusak apapun yang pernah hidup. Beberapa hal yang “menanggung perubahan laut” dan bertahan hidup dalam bentuk-bentuk dan wajah baru yang terkristalisasi, yang tetap kebal terhadap elemen-elemen itu dan mereka hanya menanti penyelam mutiara yang pada suatu hari akan mendatangi mereka dan membawanya ke dunia kehidupan –sebagai “fragmen-fragmen pemikiran”, sebagai sesuatu “yang kaya dan asing”– dan mungkin sebagai ’Urphae-nomene’ yang abadi.’ (Maurizio Passerin d’Entéves dalam Filsafat Politik Hannah Arendt: 1982). Memandangkan semua itu, ketika si penyelam (Hasan Tiro) itu hadir dan berjuang untuk menghidupkan tradisi berfikir dan identitas kebangsaan Aceh yang mati dibunuh oleh penjajah; disambut hangat di Aceh dan di gelanggang politik Internasional. Dunia mesti sadar bahwa ”isu Aceh itu berbeda dengan isu yang terjadi di Pulau Jawa, sebab Aceh memiliki hubungan Internasional, terutama dengan Turki, Inggeris dan Amerika.” (Paul Van Veer: 1985) dan Hasan Tiro berorasi: ”Bangsa Aceh itu adalah ’anak singa’, bukan keturunan biri-biri yang kapan saja dapat dibeli, disembelih dan dilapah oleh algojo-algojo. Oleh itu, fragmentasi masa silam tidak hanya sekedar untuk diingati, ’melainkan mendidik, agar kita tidak terjerumus kedalam kejumudan dan memenjarakan jiwa. Manusia historis perlu merubah jiwanya kepada kesadaran ‘supra-historis’, mempunyai keyakinan dan harapan akan masa depan, yang memandang kebahagiaan itu selalu berproses dan disempurnakan pada setiap waktu.’(Frederich Nietzsche, filosuf asal Jerman.) Wallahua’klam bissawab!

Saturday, June 3, 2017

Hasan Tiro: 'That's You, I Don't'


Hasan Tiro
TIADA mustika kata indah Tengku Hasan di Tiro untuk disajikan hari ini –tujuh tahun kepergiannya– kecuali petuah yang mengingatkan supaya pejuang GAM, tegas menentukan sikap untuk menghadapi strategi politik, militer, psy-war Indonesia dan jangan sekali-kali terpengaruh, apalagi takut kepada propaganda pemerintah RI yang hendak memperpanjang status Darurat Sivil di Aceh. (Amanat Wali Negara, 4 Desember 2004). 

Namun pada akhirnya tersungkur juga, apabila juru runding GAM menerima konsep otonomi khusus (berselimut self-government) di Aceh, sekaligus mengubur cita-cita perjuangan, mengakui kedaulatan dan tunduk kepada konstitusi di bawah payung NKRI. (Mukadimah MoU Helsinki, 2005). Semua ini berpunca dari pelbagai faktor, seperti ketidak setaraan derajat antara GAM-RI di meja berunding, tekanan CMI dan Badan dunia Internasional, GAM tidak tahan dengan ujian, tidak memiliki pengetahuan berunding –tidak menguasai istilah hukum dalam perjanjian Internasional, tidak mampu berhujah, lemah argumen, tidak jujur kepada pemimpin dan rapuh kesetiaan kepada perjuangan; walaupun Hasan Tiro telah menegaskan bahwa kesetiaan dan komitmen adalah anak kunci dalam sebuah perjuangan.

Selebihnya, konflik Aceh bukanlah berpunca dari penerapan otonomi dan pembangunan, tetapi masalah penjajahan dan kemerdekaan serta konsekuensi logisnya. Oleh itu, Aceh tetap melawan jika Indonesia masih memerangi. (Amanat Wali, 4 Desember 2004). Garis-garis ideologi perjuangan GAM ini, ternyata tidak mampu dicerna dan dipertahankan oleh juru runding GAM di Helsinki. Diakui bahwa, komitmen perjuangan GAM di forum diplomasi masih dapat dikawal oleh Hasan Tiro di setiap putaran rundingan antara GAM-RI di Geneva (2000-2002). Namun pada putaran rundingan di Helsinki, Hasan Tiro mulai terasing karena alasan kesehatan sehingga tidak mampu memantau jalannya rundingan.

Selama rundingan Helsinki berlangsung, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah mengambil alih kendali kebijakan, termasuk me-non aktif-kan telp. resmi ASNLF +46-853191275, menukarnya kepada telp: +46-853183833. Terakhir, nomor tlp. +46-853191275 dibekukan dan secara rahasia diganti kepada No. +046-853184728. Sejak itu, Hasan Tiro terputus hubungan komunikasi dengan dunia luar. Di celah-celah perundingan, Hasan Tiro menerima laporan bahwa “MoU Helsinki merupakan kemenangan besar, karena telah mengalahkan Indonesia dan menoreh sejarah gemilang bagi Aceh menuju merdeka.

Enam pasal MoU Helsinki sudah cukup untuk mengatakan Aceh menang dan merdeka. MoU ini telah memberi ruang kepada Aceh untuk bergerak bebas walaupun Indonesia tidak sadar akan hal ini. Aceh benar-benar merdeka –satu bendera, satu lagu dan satu bahasa– Tengku dapat kembali ke Aceh untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh untuk kali kedua.” (Laporan Bakhtiar Abdullah kepada Hasan Tiro (tarikh?). Dokumen ini kami simpan. Apapun kisahnya, yang pasti Hasan Tiro baru memperoleh naskah MoU Helsinki dua minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Itupun, setelah Abdullah Ilyas mengirimnya melalui fax. dari Kantor Post Rotterdam, Belanda; bukan dari tangan juru runding GAM. (Yusra Habib Abdul Gani, Satus Aceh Dalam NKRI: 2008).

 Pasca penandatanganan MoU Helsinki dikatakan: ”kita telah berhasil membuat satu perjanjian dengan pihak pemerintah Indonesia. Apa yang diputuskan merupakan satu langkah dari banyak langkah ke depan yang akan kita ambil alih untuk mengamankan dan memakmurkan Aceh. Kita akan bentuk pemerintahan sendiri (self-government) di Aceh seperti tertulis dalam MoU sesuai dengan kehendak bangsa Aceh, seperti bebas dalam hal politik, ekonomi, pendidikan, agama, hukum, keadilan secara demokrasi.” (Malik Mahmud, 15 Agustus 2005). Realitas yang terjadi ternyata tidak dapat diemplementasikan. Propaganda ini dipakai untuk meyakinkan Hasan Tiro supaya mau pulang ke Aceh, yang kemudiannya dikorbankan. Proses kepulangan Hasan di Tiro ke Aceh sempat menuai kontroversial. Pasalnya, “Wali tidak jadi pulang ke Aceh”, tutur Muzakkir Abdul Hamid kepada Musanna Abdul Wahab (salah seorang ahli waris di Tiro). Namun akhirnya, “Wali jadi juga pulang ke Aceh.” (wawancara dengan Musanna Tiro, 13 September, 2016). Sejak rencana kepulangan Hasan Tiro ke Aceh, famili di Tiro coba dihalang-halangi oleh pimpinan GAM untuk mendampingi perjalanan dari luar negeri ke Aceh. Buktinya, “Musanna Tiro tidak disertakan satu pesawat bersama rombongan Hasan Tiro dari Kuala Lumpur ke Aceh.” (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Protokuler sudah diatur sedemikan rupa, termasuk teks pidato Hasan Tiro telah siap untuk dibacakan di Masjid Baiturrahman, yang antaranya menyebut: “… jaga dan selamatkan perdamaian Aceh…”. Teks inilah yang dijadikan alasan pembenar dan rujukan politik GAM untuk dipasarkan di Aceh. Pada hal Hasan Tiro tidak tahu-menahu soal kalimat tersebut. (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Tragisnya, Hasan Tiro menganggap bahwa Aceh sudah merdeka saat mendarat di Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh; yang dihadiri oleh lautan manusia menyambut dan suasana haru ketika menyampaikan pidato di Masjid Baiturrahman. Setelah beberapa bulan berada di Aceh, beliau mulai merasakan hal-hal yang aneh. Misalnya, ketika rombongan Wali Negara tiba di Lhok Seumawe atas undangan Bupati Aceh Utara untuk menghadiri jamuan makan malam. Hasan Tiro menunggu dalam kamar khusus, didampingi oleh Musanna Tiro dan Muzakkir Hamid. Hasan Tiro bersama Muzakkir Abdul Hamid keluar dari kamar menuju tempat acara makan malam. Beberapa menit kemudian Musanna Tiro menyusul keluar dari kamar. Tanpa diduga, Hasan Tiro sudahpun berada di depan pintu masuk kamar, sambil menendang, mendorong Musanna ke dalam, menutup dan membanting daun pintu. Emosi beliau hampir tidak terkendali, kesendirian, kesepian dan marah. Musanna Tiro merasa terkejut, apa gerangan berlaku? Karena tidak tahu persis punca penyebab Hasan Tiro bertindak demikan; maka Musanna Tiro mengintip ke luar dari celah pintu. Ternyata yang berlaku adalah, Malik Mahmud sedang berjabat tangan dan berpelukan mesra dengan dua orang petinggi anggota TNI lengkap dengan tongkat Komando dari Kodim dan Korem Lhok Seumawe. Ketika Musanna Tiro hendak menutup pintu, Muzakkir Abdul Hamid menghampiri Musanna Tiro dan dengan suara rendah berkata: “Wali agaknya sudah tahu, kalau kita sudah benar-benar berdamai dengan RI”. “Apa itu Muzakkir?” tanya Musanna Tiro. Muzakkir berpura-pura tidak mendengar dan ketika Musanna meminta konfirmasi, Muzakkir tidak melayani. Sejak peristiwa itu, Musanna sudah curiga bahwa, sejak di Sweden lagi Hasan Tiro sesungguhnya sudah ditipu. Peristiwa lain yang menyedihkan berlaku, ketika Hasan Tiro buat terakhir sekali masuk ke Aceh dari Malaysia –pada masa itu kesehatan beliau dalam situasi kritikal– sementara visa izin tinggal di Indonesia hampir tamat. Untuk dapat menetap lebih lama, disyaratkan memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Untuk itu, Hasan Tiro cukup menandatangani formulir yang sudah disediakan oleh Bukhari Hj. Umar (pegawai yang mewakili Imigrasi Banda Aceh). Begitu formulir disodorkan untuk diisi, raut muka Hasan Tiro merah, marah dan menolak mentah-mentah untuk menandatangani tanpa menjelaskan apa alasannya. Hasan Tiro hanya menunjuk gambar burung Garuda –lambang negara Indonesia– pada formulir itu. ”Peue cicém njan, Musanna?”. Musanna Tiro menjawab: “Tidak ada masalah Abua. Ini hanyalah prosedur untuk mendapatkan visa”. Bagaimana pun, Hasan Tiro tetap menolak menandatandatangi dan sekali lagi menunjuk burung Garuda itu. Musanna terpaksa memperlihatkan contoh formulir miliknya yang terdapat gambar burung Garuda. Dalam situasi marah, beliau kata: “thats you, I don't Musanna”, sambil melemparkan pulpen dan meninggalkan pegawai Imigrasi. Kemudian Musanna Tiro cari akal untuk menutup gambar burung garuda dengan kertas lain. Namun saat formulir ditandatangani, Hasan di Tiro membuka tirai kertas pelapis yang masih nampak burung garuda. Hasan Tiro mencampakkan kembali formulir itu. Namun begitu, beliau sebetulnya sedang berdiri di depan “puntu jaring”. Barulah pada keesokan harinya Musanna Tiro mengambil inisiatif, mem-fotocopy formulir tersebut tanpa terlihat gambar burung Garuda. Barulah beliau menandatangani, itu pun setelah Musanna bilang: “supaya kita boleh tinggal di negeri bertuah ini sebentar lagi Abua”. Hasan Tiro tersentak, terkejut dan baru sadar –namun tidak mampu berbuat apa-apa lagi– bahwa dirinya sudah ditipu dan dikhianati. (Musanna, 13 September, 2016). Sungguh miris, apabila Hasan Tiro tidak tahu, kalau ideologi perjuangan GAM sudah dikubur oleh juru runding GAM di Helsinki, yang telah mengorbankan ribuan nyawa dan kerugian harta benda rakyat Aceh sejak dipugar oleh Hasan Tiro tahun 1976. “Kami telah membuat banyak konsesi…” (Pidato Malik Mahmud, 15/08/2005), seperti Aceh kehilangan kedaulatan, militer, jabatan Perdana Menteri dan Dewan Menteri berdasarkan (point 1.1 (a) MoU Helsinki) dan “MoU Helsinki menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai”. (Serambi Indonesia, 16/08/2010). Artinya, MoU Helsinki ternyata menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah! Di mata Hasan Tiro Aceh sudah merdeka. Itu sebabnya, surat undangan kepada Yusuf Kalla (Wakil Presiden RI) untuk berkunjung ke Aceh, ditulis di atas kertas memakai lambang negara Aceh (buraq), ditandatangani oleh Hasan Tiro sebagai kepala negara Aceh. Surat Undangan ini dinilai kontrovesial, karena dianggap telah melecehkan pemerintah RI. Akhirnya, tanpa pengetahuan Hasan Tiro, surat undangan susulan ditulis di atas kertas kosong, ditandatangani oleh Malik Mahmud. Tidak cukup dengan itu, pimpinan GAM secara rahasia mengurus penukaran status kewarganegaraan Hasan Tiro dari warganegara Sweden kepada warganegara RI, di saat beliau dalam keadaan tidak sadar diri –koma– dan untuk melicinkan maksud tersebut, famili di Tiro tidak dilibatkan secara langsung. Dengan begitu, famili di Tiro sama sekali tidak bertanggungjawab atas penukaran kewarganegaraan Hasan Tiro; walaupun Tengku Fauzi Tiro diminta menjadi wakil ahli waris untuk menerima sertifikat kewarganegaraan Hasan Tiro yang siserahkan oleh Menhankamhum berserta uang Rp. 15 Juta (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Peristiwa ini berlangsung 26 jam sebelum Hasan Tiro menghembuskan nafas terakhir pada 3 Juni 2010. Yang pasti “semua ini terjadi semata-mata atas kemauan mereka (Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakarya Saman, Irwandi Yusuf, Farhan Hamid). Kami famili di Tiro (ahli waris), sama sekali tidak dilibatkan dalam perkara ini.” (Wawancara dengan Tengku Fauzi di Tiro, 29 Nopember 2011). Dalam konteks ini, ”ada dua alasan, mengapa pimpinan GAM perlu segera menukar kewarganegaraan Tengku Hasan di Tiro. Pertama, untuk memudahkan proses penguburan di Aceh (Indonesia). Kedua: untuk memenuhi tuntutan agenda politik Indonesia.” (Tengku Fauzi di Tiro, 29 November 2011). Keabsahan perkara ini dinyatakan pula bahwa “famili di Tiro sama sekali tidak diikut sertakan dalam proses pengurusan penukaran kewarganegaraan Hasan Tiro. Oleh karenanya, kami tidak bertanggungjawab.” (Wawancara dengan Zaidi Ubaidillah, 14 Mei 2017). Rupa-rupanya di sebalik peristiwa ini ada agenda tersendiri, yaitu Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Zakarya Saman juga berhajat menukar status kewarganegaraan masing-masing menjadi warganegara RI. Ini terjadi, tepat 17 hari seusai Hasan Tiro meninggal. Penukaran status kewarganegaraan ketiga tokoh GAM tersebut adalah tindakan “jak seutot langkah Wali Neugara” (mengikuti jejak langkah Wali Negara), sekaligus membebaskan diri mereka dari tuduhan ‘quisling’. Semasa hidupnya, Hasan Tiro mengamanahkan supaya jasadnya dikubur disamping Ibundanya di Kampung Tiro; tetapi tidak dibenarkan oleh pimpinan GAM. (Musanna, 13 September, 2016). Akhirnya beliau dibukurkan di kawasan kuburan Pahlawan Muereue, Aceh Besar; disamping Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dan Tengku Thjik di Tiro Zainal Abidin.

Saturday, April 22, 2017

Musim 'Xenophobia'

Ilustrasi Xenophobia
SIAPA menyangka, kalau Ramses 1 –berpengaruh dan pemegang tampuk kekuasaan tertinggi rezim Fira’un– berasal dari suku minoritas (Lewi) yang disokong oleh suku Ruben, Simeon, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Yusuf dan Benyamin, berkata: ’Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi’ (An Nazi’at: 24) dan “Aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku” (Al Qashash: 38); diam-diam ternyata menyimpan sejuta rasa takut (’phobos’) yang terlalu akan keselamatan masa depan kuasanya di Mesir dari ancaman kaum mayoritas –Ibrani Bani Israel– pendatang dari Kan’an ke Mesir yang dianggap asing (xenos), sehingga mendorongnya untuk mengusir secara paksa ke tanah asalnya (Kan’an/Yerusalem). 

.
Gejolak jiwa yang resah ini, dalam psykhologi disebut ’Xenophobia’ yang berasal dari perkataan ’phobos (rasa takut) dan ’xenos’ (asing). Dengan kata lain, suatu perasaan cemas dan ketakutan yang terlalu terhadap sesuatu yang dianggap asing (xenofobia) yang diyakini dapat menggugat kedaulatan seseorang individu, keluarga, organisasi (partai), bahkan kekuasaan. Fenomena kejiwaan individual dan kolektif ini boleh mengarah kepada tindakan ’uncivilize’, yang mengatas namakan melindungi kemurnian identitas maupun kekuasaan yang mungkin dirampas dan digilas oleh pihak lain. 

’Xenophobia’ juga dapat berpunca dari perasaan racisme dan diskriminasi yang merangsang Fira’un untuk ’menyembelih anak laki-laki mu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu’ (Al-Baqarah: 49). ’Xenophobia’ boleh jadi muncul oleh karena kecemburuan yang terlalu mengkristal menjadi rasa kebencian, seperti yang dialami oleh Nabi Yusuf AS sewaktu kecil –dianggap asing– oleh sebab dipercayai akan menggugat kribelitas saudara kandungnya yang kemudian sanggup mencemplungkan Yusuf kedalam sebuah telaga tua di padang pasir, seperti dikisahkan: ’Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakan mu.’ (Yusuf: 5). Bahkan ’xenophobia’ boleh terjangkit oleh sebab perbedaan kepentingan politik dan ideologi suatu kelompok. Misalnya, pada tahun 2009-2014, apabila Partai Aceh (PA) menguasai parlemen dengan suara mayoritas (48 kursi mewakili PA dari 69 kursi anggota DPRA), merasa cemas dan ketakutan kepada lain yang dianggap asing (’xenophobia’), karena komponen masyarakat lain mau membentuk partai lokal (Parlok) dan percaya bahwa, yang berhak eksis di Aceh hanya PA. Agenda politik PA akhirnya terhempas diterjang ketentuan perundangan RI yang tidak membatasi untuk mendirikan Parlok di Aceh. Selain itu, ’xenophobia’ juga diakibatkan oleh perasaan takut kepada orang yang berbeda kepercayaan, suku, ketidak mampuan bersaing dalam pentas politik dan perebutan status sosial. ’Xenophobia’ model inilah melanda jiwa umat Islam –khususnya dalam kancah memenangkan Pilkada DKI Jaya 2017– yang menghadirkan Basuki Cahaya Purnama (Ahok) beragama Nasrani yang diyakini menodai kemurnian iman berdasarkan teks qur’an (Al-Maidah: 51), yang ’melarang orang Islam memilih pemimpin dari kalangan non-muslim.’ Bukti umat Islam mengidap ’xenophobia’ digambarkan bahwa ’Kami berikan cobaan kepadamu dengan ketakutan...’ (al-Baqarah: 155) yang ditandai dengan aksi solidaritas yang melibatkan jutaan umat Islam bertunjuk rasa di Jakarta. Aksi ini adalah refleksi dari perasaan ketakutan (’Xenophobia’ politik Islam), bukan simbol keberanian umat Islam. Refleksi ketakutan inilah yang mengantar Anies Bawean ke jenjang tampuk kuasa di Jakarta pada pilkada 19 April 2017. Di daerah lain tidak muncul gejolak politik ’pada pilkada 2016 di kepulauan Sula, Maluku Utara yang penduduknya 97% terdiri daripada umat Islam; telah terpilih Hendra Teis –seorang pengusaha keturunan China beragama Protestan– sebagai Bupati. Penduduk Kepulauan Sula punya pertimbangan sendiri untuk menyukai dan memilihnya; walau pun ada pihak tertentu yang me-’review’ ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi MK telah menetapkan bahwa Hedre Teis sebagai Bupati yang sah mengikut undang-undnag. Jadi, jika dalam pilkada Jakarta ternyata kawannya Hendra tidak terpilih, berarti penduduk DKI tidak menyukainya. Jika sebaliknya - terpilih- maka umat Islam mesti belajar dari realitas ini.’ (Ucapan Prof. Dr. Jimly Assiddiqie, dalam suatu forum diskusi baru-baru ini). Pada gilrannya, ’xenophobia’ juga melanda politisi Aceh dan budayawan yang berasal dari suku mayoritas di Aceh, merasa cemas dan takut dengan kehadiran Mante (pihak asing) dalam video yang berhasil derekam oleh sekelompok mengendera trayler di sebuah lokasi pedalaman Aceh Besar yang nampak telanjang bulat, seperti dilaporkan oleh Tabloid Lintas Gayo dan Serambi Indonesia. Pada hal suku mayoritas Aceh, mengikut sejarahnya terdiri dari empat suku utama, yaitu Sukèë lhèë reutôh ban aneuk drang (Kaum tiga ratus bagaikan anak drang), Sukèë Jak Sandang Jeura haleuba (Kaum Jak Sandang bagaikan Jeura haleuba), Sukèë Tok Batèë na bacut-bacut (Kaum Datuk Batu ada sedikit-sedikit), Sukèë Imeum Peuët njang gok-gok donja (Kaum Imam Empat yang guncang dunia) –yang suatu ketika dahulu pernah konflik horizontal berebut kuasa di Aceh. Bertuah Sultan Ali Mughayatsyah (1511-1524) berhasil mematahkan obsesi mereka masing-masing dan sampai sekarang tidak seorang berani mendakwa dirinya sebagai salah satu keturunan dari empat Suku utama tadi. Suku Mayoritas inilah, secara diam-diam menyimpan rasa takut (’xenophobia)’ dengan kehadiran Mante. Perasaan takut tersebut dibayang-bayangi lewat kalimat: ’bagaimana kalau suku mante bersatu, lalu buat organisasi dan Parpol, kemudian mengusir kita dari Aceh dengan alasan mereka pribumi asli sedangkan kita pendatang.’ (Lintas Gayo, 30 Maret 2017). Fenomena ini hanyalah simbol dari ketakutan suku mayoritas terhadap masa depan politiknya, sebab melalui proses alamiah ’kesadaran politik mereka (baca: Mante atau suku minoritas lain di Aceh) dapat menggerakkan apa pun.’ Oleh itu, saatnya difikirkan supaya ’orang Aceh (baca: suku mayoritas) memerangi suku Mante karena takut terusir’ (Lintas Gayo, 30 Maret 2017) untuk menyelematkan dominasi politik suku mayoritas yang ’dianngap sebagai kaum penjajah’. (Lintas Gayo, 30 Maret 2017). Dalam koneks ini, yang membedakan antara ’xenophobia’ yang diderita Fira’un dan politisi Aceh adalah, jika Ramses 1 (dari suku minoritas Lewi) ’curi start’ untuk mendominasi politik (menjajah) daripada digilas oleh (suku mayoritas Ibrani), sementara ’xenophobia’ politisi Aceh (dari suku mayoritas Aceh) mendominasi politik dan berencana ’memerangi suku Mante karena takut terusir’. Fenomena psykhis dan sosial-politik tersebut adalah normal, bahkan terbaik bagi suku mayoritas di Aceh demi menjaga dan menyelamatkan kemurnian identitas Ke-Aceh-annya. Sebetulnya, mengikut pelbagai referensi, Mante (makhluk misteri yang secara 'genetical') hidup dalam rimba Aceh, diakui telah dilihat langsung oleh beberapa saksi mata dan memberi testimoni. Snouck Hurgronje menyebutnya suatu ras Mantran yang hidup di hutan sekitar Aceh Besar, sementara Yunus Melalatowa menyifatkan Mante sebagai suku terasing dalam rimba Aceh; namun tidak siapa pun dapat dan berani bersaksi memastikan namanya adalah Mante. Bagaimana pun, 'Mante genetical' tersebut baru akan memiliki legitimasi secara ilmiah, jika DNA-nya telah ditest melalui laboratorium. Mana tahu, kalau kehadiran Mante terbukti lebih tua daripada éndatu orang Gayo yang sudah menetap di persekitaran Loyang Mendali sejak 8000 talaun yang lampau. Bahkan usaha mengadakan research sudah pun direstui oleh Kementerian Sosial RI. Dalam ilmu sosial segalanya tidak muntahil! Masalahnya, contoh yang dijadikan figur Mante itu sudah ratusan bahkan ribuan tahun wujud di rimba Aceh namun belum juga dapat dipastikan. Terlepas dari semua itu, lupakan buat sementara kisah ’xenophobia ’ Ramses 1, saudara kandung Nabi Yusuf, politisi Aceh dan 'Mante genetic'. Ianya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehadiran ’Mante Politisi’ (politician Mante) yang eksis dalam atmosfer politik dan kekuasaan, tidak kalah nekad mempamerkan aksi 'telanjang bulat' –tanpa perasaan malu- di mata Allah dan manusia untuk melakukan tindakan tidak terpuji –secara peribadi maupun bergerombolan– menggarong kekayaan negara melalui profesi masing-masing hingga menyebabkan Aceh diklasifikasi sebagai provinsi termiskin ke-dua se-Sumatera di bawah Provinsi Bengkulu. Rekaman video sosok telanjnag bulat yang disiarkan oleh kumpulan trailer baru-baru ini, secara psykhis-sosial adalah suatu simbolik bahwa, 'politician Mante' berdasi, sebenarnya dikenal pasti (telanjang bulat) telah merugikan negara secara terencana dan sitematik. Tragisnya, 'politician Mante' tersebut dengan gerak cepat melakukan manuver politik, bersembunyi dan menyelamatkan diri di sebalik semak belukar, yaitu sistem politik yang sudah dibangun, memberi perlindungan kepada 'politician Mante' untuk tidak dapat dikesan, ditangkap, ditahan dan diadili. Lebih menggelikan lagi, apabila ada pihak yang berpura-pura memburu dengan menggunakan senjata galah panjang –lihat video rekaman yang beredar secara meluas– yang diperagakan, boleh dianggap lucu dan hal ini tindakan irrational. Artinya, untuk menangkap 'politician Mante', terlebih dahulu memberi aba-aba bahwa mereka sedang dikejar. Pada hal, semak belukar itu adalah jaringan birokrasi kekuasaan –benteng pertahanan– tempat politisi bajingan ini berlindung. Rakyat tidak akan mampu menerobos, apalagi menangkap 'politician Mante', selagi sistem politik tidak diubah secara mendasar. Walaupun dari sisi lain, Snouck Hurgronje menyifatkan Mante sebagai ’tingkah kebodoh-bodohan dan kekanak-kanakan,’ bahkan ada yang menyebutnya sebagai kisah ngarut; namun secara simbolik, ianya wujud dalam romantika peradaban manusia. Jadi, dalam konteks politik Aceh, ’xenophobia ’ terhadap 'Mante genetic' tidak berarti apa-apa, berbanding ’xenophobia ’ terhadap 'politician Mante' yang sedang menggerogoti bangunan tamadun sebuah bangsa dan negara.

Tuesday, March 28, 2017

Mahalnya Ultimatum Perang Belanda-Aceh

Perang Aceh-Belanda
PROKLAMASI perang kolonial Belanda pada 26 Maret 1873 ke atas Aceh, merupakan klimaks dari luapan emosi yang tidak terkendali, ditindih pula oleh logika ’keniscayaan’ yang percaya bahwa jika Aceh berhasil dicaplok, niscaya sempurnalah sudah prestasi kolonial Belanda di wilayah ’Nederlands East Indie’, karena Aceh-lah satu-satunya negeri terletak paling ujung Sumatera yang belum berhasil ditakluki oleh Belanda. 


Selain itu, Aceh dianggap aral-perintang kelancaran lintas dagang Belanda melintasi Selat Melaka menuju kawasan dunia Arab dan Eropah –terutama setelah Terusan Suez beroperasi pada 1869– karena Aceh-Inggeris berpengaruh dan merupakan pemegang kuasa di Selat Melaka berdasarkan perjanjian (1603) dan (1819). Pada hal melalui Traktat London 1824, Belanda–Inggeris berjanji menghormati kedudukan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat dan menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh. 

Untuk memperkuat komitmennya, Belanda-Aceh menandatangani perjanjian pada tahun 1857. Di belakang layar, Belanda melancarkan provokasi supaya Inggeris membatalkan perjanjian Raffles (1819) dengan Aceh, karena isinya dianggap merugikan seluruh orang Eropah, kecuali Inggeris. Di luar dugaan, Inggeris pun terpedaya dengan provokasi ini, sehingga lahirlah perjanjian Sumatera tahun 1871, dimana Inggeris memberi laluan kepada Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan militer.

Berbekal logika ’keniscayaan’ dan sokongan Inggeris, maka sebuah kapal perang Belanda merapat ke perairan Aceh dan E.R Krayenhoff (juru runding Belanda) yang berada dalam kapal itu menitip pesan singkat: ’Aceh mesti menyerah kepada Belanda atau menyediakan satu kota untuk pangkalan militer Belanda’ (The New York Times, 6 Mei 1873), yang mengutus Sidi Tahil menyampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah missi E.R Krayenhoff ini gagal, kapal itu menghilang dari perairan Aceh. Barulah kemudian muncul Ultimatum perang pada 26 Maret 1873, berisi: (1). Aceh supaya menyerah tanpa syarat, (2). Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda, (3). Hentikan melanun di Selat Melaka, (4). Serahkan semua wilayah Sumatera yang berada di bawah perlidungan Aceh dan (5). Putuskan hubungan diplomatik dengan kekhalifahan Utsmaniyah Turki.

 Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropah yang pernah mengalahkan Inggeris, di Afrika, Amerika Laten dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan Belanda di atas belahan dunia. Apapun dalihnya untuk menyerang Aceh, Belanda telah mengenyampingkan segala pertimbangan etika moral yang sanggup mengkhianati isi Traktat London 1824 dan perjanjian 1857 dan tidak sadar kalau Belanda melancarkan perang (Ultimatum 1, 2, 4 dan 5) ke atas Aceh (sebuah negara berdaulat dan merdeka). Sebelumnya, pemerintah Turki dan pegawai sivil kolonial Belanda sudah menyampaikan nasehat kepada Raja Belanda supaya tidak menyerang Aceh, karena permasalahan Aceh tidak sama dengan yang berlaku di Jawa dan di Siak. ‘Aceh mempunyai kekuatan pertahanan, hubungan ekonomi dan politik Internasional dengan Inggeris, Perancis dan Amerika Syarikat. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 55). L.W.C. Keuchenius (anggota Raad van Indë 1859-1864) juga mengutuk keras rencana Belanda menyerang Aceh, begitu pula James Loudon (Gubernor Jenderal Hindia Belanda (1861-1874) berpendapat bahwa ’setiap perluasan kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara, disifatkan sebagai satu langkah lebih dekat menuju keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda, akan merendahkan wibawa, menelan kepahitan dan bermulanya kehancuran ekonomi Belanda, sekaligus memperjudikan nasib penduduk bangsa Eropah (78,000 orang) yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda.’ Artinya, jika perang dimenangkan oleh Belanda, sudah tentu berakhir bahagia. Tetapi jika berlaku sebaliknya, maka seramai itulah orang Eropah merana dan hancur masa depan usahanya. Multatuli juga mengutarakan: ‘Pemerintah Belanda melakukan provokasi yang dibuat-buat tanpa alasan yang masuk akal sehat untuk memerangi Aceh. Jika hal ini terjadi, maka tindakan Belanda adalah merampas kedaulatan Aceh. Perbuatan demikian sungguh tidak berbudi, tidak jujur dan tidak bijaksana. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 24). Loby yang dibangun untuk mengelak dari terjadinya perang dikesampingkan. Seiring dengannya, F.N. Nieuwenhuijzen (ketua juru runding Belanda) secara sepihak menyampaikan laporan palsu kepada Pemerintah Turki bahwa Aceh kerap melakukan lanun di Selat Melaka. Hal ini dianggap merugikan kepentingan ekonomi Belanda. Adalah tidak bermoral dan keji, jika hanya karena alasan untuk membangun mahligai kolonialisme –kejayaan, kekayaan dan Kristianisasi– yang turut dimotori oleh kaum Puritan, ilmuan, politisi dan militer Belanda menyerang Aceh, yang terbukti tiada apapun harta kekayaan Aceh Belanda angkut ke Batavia dan Belanda. Perang Aceh-Belanda yang melelahkan selama 69 tahun ini, tidak diselesaikan menurut prosedur hukum perang, Resolusi PBB 1960, hasil Sidang PBB 1970 dan penerapan ‚Veinna Convention’ 1978. Belanda telah membayar mahal Ultimatum perang ini, selain mencoreng reputasi Belanda di mata dunia, mengorbankan 100.000 jiwa mati, puluhan ribu yang cedera di pihak Belanda, juga seluruh perusahaan pemerintah kolonial Hindia Belanda gulung tikar dan musnahnya masa depan 78,000 orang Eropah yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti dibayangkan oleh James Loudon (penandatangan Ultimatum); Aceh juga telah membayar mahal perang ini, bukan saja kehilangan 250.000 pejuang Aceh yang gugur dalam medan perang, 1.500 orang mengalami dipresi dan sakit jiwa. (Paul Van ‘t Veer: 1985), akan tetapi Aceh, juga gagal memanfaatkan peluang untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh –meletakkan Aceh semula sebagai sebuah negara merdeka– ketika Belanda sudah berhasil diusir dari bumi Aceh tahun 1942. Bahkan kehilangan segala-galanya, seperti institusi kesultanan, sistem dan struktur pemerintahan, batas wilayah negara, mata uang, bendera, lambang, kekuatan militer, hubungan diplomatik dengan negara luar, Konstitusi (Meukuta Alam) dan kerugian harta benda. Peristiwa ini tidak diinsafi oleh bangsa Aceh; sebaliknya beberapa putera Aceh mengundang Jepang masuk ke Aceh menukar posisi Belanda (1942). Apabila giliran Jepang angkat kaki dari Aceh (1945), Aceh gagal untuk kedua kalinya menyatakan kemerdekaan; bahkan beberapa putera Aceh (kalangan PUSA dan Ulèëbalang) berkongsi dengan pemerintah pusat Indonesia membentuk Komite Nasional Daerah (KND) Aceh untuk memerangkap dan memasukkan Aceh kedalam wilayah Indonesia pada Oktober tahun 1945. Bagaimana pun juga, Turki, Morokko, Isfahan dan Agra –sahabat Aceh yang tergabung dalam fakta pertahanan dunia Islam pada abad 16-17– lebih bernasib baik dibandingkan Aceh. Turki misalnya, walaupun terpaksa kehilangan 80% wilayah imperiumnya melalu perjanjian Sevres (10 Agustus 1920); akibat kekalahan dalam perang Dunia ke 1. Namun, setelah Mustafa Kemal Atatürk berhasil membangkitkan semangat perang dan nasionalisme, Turki mengerahkan 120.000 pejuang terbaik bertempur di medan perang Sakaria (Izmir) berhasil mengalahkan pasukan Yunani seramai 200.000 (yang berperang atas nama negara bersekutu). Akibatnya, negara-negara bersekutu Eropah terpaksa menandatangani Penjanjian Lausanne (24 Juli 1923); untuk mengembalikan semula wilayah Tukri yang hilang dalam perjanjian Sevres. Marokko (walau pun pernah menjadi negara protektorat Perancis pasca perang Dunia 1, namun meraih kemerdekaan penuh tahun 1956). Isfahan, sebuah kota yang pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu masa dahulu, tetap wujud dalam negara induk (Iran). Begitu juga Agra (pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu ketika dahulu, tetap berada dalam wilayah negara induk (India). Artinya, untuk mengembalikan wilayah berdaulatnya, Turki mesti bertempur di medan perang Sakaria (Izmir). Sebaliknya Aceh, yang telah berhasil mengusir penjajah (Belanda dan Jepang) dari bumi Aceh tanpa harus menempuh jalan peperangan sengit seperti dialami Turki; gagal mempertahankan dan menyelamatkan Aceh, bahkan status turun derajatnya dari sebuah negara kepada Residen sejak (1938-1942), Residen Jepang (1942-1945) dan Residen Indonesia (1945-1949), salah satu Provinsi (1949-1950) dan Provinsi (1950-sekarang). Di atas pertimbangan inilah, Ultimatum perang ini dianggap menyisakan masalah politik Aceh hingga sekarang. Wallahu’klam bissawab!

Hukuman 'Jeret Naru' dalam Dilema

Danau Lut Tawar
Istilah ’jeret naru’ secara tekstual berarti ’kuburan panjang’, sementara dalam arti kontekstual (maknawi) berarti penjatuhan hukuman adat terhadap pasangan yang melakukan ’ancest’ (pelanggaran sexual) atas dasar suka sama suka yang berlaku dalam lingkungan keluarga inti, keluarga dekat atau pun satu belah/kuru. 


Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran hukum adat berat, karena menodai dan memalukan citra/nama baik keluarga, clan, belah dan kampung. Istilah tersebut hanya dikenali dalam masyarakat adat Gayo. Menurut sejarahnya, kehajatan sexual (’ancest’), termasuk kejahatan klasik yang sudah pun berlaku sejak ribuan tahun lagi dan dianggap sebagai jenis kejatahan yang amat ’aib.

Dalam psykologi, kejahatan ini disebut ’genetic Sexual Attraction’ (kecenderungan jatuh cinta dan melakukan hubungan sexual antara saudara kakak beradik, antara anak dengan Ayah/Ibu dan antara sesama keluarga dekat yang dipandang bukan sebagai sebuah fenomena asing, bahkan para ahli psykolog mengatakan, kejahatan tersebut sebenarnya merupakan sesuatu hal yang normal dan lazim dalam masyarakat tertentu.

Namun begitu, dalam kehidupan masyarakat beradab mau pun negara, pada umumnya menganggap perkara ini sebagai suatu kejahatan immoral yang serious. Namun demikian, kasus ini dipastikan sukar untuk dihilangkan, buktinya masih kerap kita dengar sampai sekarang bahwa jenayah ’ancest’ terjadi karena dalih suka sama suka, perkosaan, penipuan mau pun penganiayaan.

 Di Massachusetts (salah satu negara bagian di USA) misalnya, ’ancest’ ini dikategorikan sebagai perbuatan illegal yang hukumannya mencapai 20 tahun penjara, sementara di Hawai hanya 5 tahun. Ini menunjukkan bahwa Kejahatan ’ancest’ merupakan kejahatan tercela dalam masyarakat Krestian di USA.

Sementara itu, dalam perundangan Inggeris, kejahatan ’ancest’ ini diancam hukuman paling lama 12 tahun penjara. Misalnya, pada Juni 2004, masyarakat dikejutkan dengan berita Dr. Bruce McMahan (65 tahun), melangsungkan perkawinan lari dengan putrinya (Linda) berusia 35 tahun. Kasus ini telah menggemparkan masyarakat dunia, karena Bruce McMahan adalah seorang kaya raya. Dia adalah President dan CEO Argent Funds. (sumber: http://www.villagevoice.com)

Demikian pula kasus Jhon Earnest Deaves (61 tahun) dan Jennifer (Jenny) Anne Deaves (39 tahun) warganegara Australia, yang kedua-duanya adalah hubungan antara Ayah dan anak menjalin hubungan cinta dan akhirnya hidup bersama sebagai suami istri yang yang sempat melahirkan seorang anak. Peristiwa ini baru terbongkar pada medio April 2008. Ujung-ujungnya berhadapan ke Mahkamah Pengadilan negeri Australia yang menjatuhkan hubungan bersalah. Tidak dapat dinafikan bahwa, dalam masyarakat adat Gayo, jenayah ’ancest’ ini juga berlaku, hanya saja ditutup-tutupi dan pada umumnya pihak keluarga, Belah dan penghulu Kampung segera mengambil jalan pintas, yaitu menikahkan para pelaku secepatnya. Di kampung Kenawat Lôt misalnya –sejak tahun 1940-an sampai 1980-an– terungkap beberapa kasus ’ancest’ yang dihukum dengan hukuman minah belah, buang negeri; bahkan ada kasus dengan menjatuhkan hukuman ’jeret naru’ oleh Majlis Adat asal Kampung Kenawat. Peristiwa ini berlaku dalam masyarakat Adat Kampung Kenawat di Jakarta pada tahun 1980-an. Ini merupakan sebuah yurisprudensi penting yang masih tetap dipertahankan. Di kampung-kampung lain pun, dapat dipastikan bahwa jenayah ’ancest’ ini berlaku, hanya tidak tersebar luas dan menghebohkan masyarakat Gayo secara keseluruhan. Sejauh pengetahuan penulis, dalam yurisprudensi hukum Islam Islam baik terjadi semasa zaman Rasulullah, Khulafaturrasyidin, Tabi’in, Tabi’-tabi’in, belum kami ditemukan yurisprudensi mengenai kasus ’ancest’, terkecuali perbuatan zina yang terjadi di luar hubungan pertalian keluarga. Sehubungan dengannya, hukum Islam secara tegas menetapkan bahwa ’Pezina perempuan dan pezina laki-laki, dideralah masing-masing dari keduanya seratus (100) kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya  mencegah kamu untuk  (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.’ (Q.S. an-Nur /24:2) Ditegaskan pula bahwa, ’Aku pernah mendengar Nabi SAW memerintahkan mencambuk pezina yang belum menikah dengan 100 kali deraan dan dibuang satu tahun. (Diriwayatkan oleh Zaid Bin Khalid r.a.). Dalam konteks ini, Islam bahkan telah memberi isyarat lebih awal tentang larangan ’mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ (QS. Al-Isra, 17, ayat 32). Dalam konteks penjatuhan hukuman ’jeret naru’ dalam masyarakat Adat Gayo yang nota bene beragama Islam (muslim), ternyata tidak menerapkan secara langsung dasar-dasar Hukum Islam yang telah diatur dalam teks Al-Qur’an dan Hadits. Diakui bahwa dalam konstitusi kerajaan Linge yang terdiri dari 45 fasal, masalah ’ancest’ ada disentuh pada fasal 8, ayat 3 yang menyebut: ’Angkara, yaitu seorang yang melakukan kejahatan atau perzinaan di dalam satu belah,’. Sementara dalam fasal 8, ayat 2 menyebut secara simbolik tentang perbuatan tersebut, yaitu ’gere i pangan wéh i rukah, gere i pan ukum nikah (yang berarti tidak pada tempatnya). Namun begitu, tidak terdapat pengaturan mengenai ancaman hukuman yang pasti-pasti. Agaknya, perumus konstitusi kerajaan Linge dan hukum Adat Gayo lebih tertarik kepada Hadits yang menyebut: ’... dibuang satu tahun’, yang kemudiannya ditransformasi kedalam hukum adat Gayo dalam bentuk hukuman ’jeret naru’, yang tidak memberi peluang kepada pelaku ’ancest’ untuk kembali kampung asal buat selama-lamanya. Dikenal pasti bahwa semasa Umar bin Khattab memerintah, beliau pernah menerapkan hukum buang terhadap para pelaku zina dan tidak diizinkan kembali ke kampung asal. Bagaimana pun, eksistensi hukuman adat ’jeret naru’ dalam masyarakat Gayo mengalami dilema, akibat daripada terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosial dan agama yang berlaku dalam masyarakat majmuk, kejumudan berfikir pemuka adat Gayo, tidak ada hasrat Pemda dan anggota legislatif untuk menghidupkan kearifan daerah lantaran tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum adat Gayo untuk dituangkan kedalam qanun (Perda) bahwa, selagi masih ada kearifan lokal untuk menyelesaikan delik adat, seperti jenayah ’ancest’ melalui prosedur penyelesaian hukum Adat, maka hukum positif nasional Indonesia boleh dikesampingkan, tapi bukan dinafikan; sehingga keberadaan hukuman ’jeret naru’ ini tersepit di antara tekad untuk mengekalkan otoritas hukum adat Gayo dengan otoritas perundangan Indonesia dan prinsip HAM yang mengganjal; karena setiap jenis kejahatan yang berlaku dalam wilayah kedaulatan hukum Indonesia, tidak dirujuk kepada otoritas Hukum adat Gayo, melainkan mengakui dan mesti menerapkan hukum positif –KUHPidana– dan perundangan lain yang dianggap relevan. Lagi pula, karena kemudahan infrastruktur informasi, transfortasi dan komunikasi, amat mudah bagi pelaku untuk mengambil tindakan penyelematan peribadi –melarikan diri– ke daerah lain dan memutus rantai hubungan dengan penguasa kampung asal dan famili.

Thursday, March 9, 2017

Refleksi Kejiwaan dalam Desain Kerawang Gayo

Kerawang Gayo
FALSAFAH berfikir, identitas, karateristik, perilaku, interaksi sosial, secara simbolik dapat dipahami dari desain seni ukir Opoh Kerawang gayo bermotif ‘emun beriring’ (awan berarak), ‘tali puter tige’ (tali tiga pintal), ‘tuwis’ (pucuk rebung), ‘peger’ (pagar) dan ‘ulen empat belas’ (bulan purnama).


‘Emun beriring’ adalah dalil relativitas kehidupan, yang menggambarkan romantika dan dinamika kehidupan manusia –ada kalanya bertènggèr di lereng bukit, membentang dan berarak di langit biru –simbol dari puncak kenikmatan, keberhasilan karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman nama seseorang– yang secara natural memberi kesejukan, keteduhan, kedamaian dan keharmonisan.

Ada masanya sirna dan menghilang –itulah simbol berakhirnya kenikmatan, karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman– yang secara moral diharap tidak meninggalkan kesan parut dan tercela di mata manusia dan di hadapan Khaliq. Inilah hakikat hidup yang terus-menerus bergerak, berutar dan bergilir silih berganti: datang dan pergi, laba dan rugi, sehat dan sakit, gembira dan kecewa menjelma dalam realitas hidup.

Inilah yang dimaksudkan dalam lirik didong ini ‘wéh si manut ku lut ijo gere berulak den mata ni lao gere sabé timang’ (air yang tumpah ke laut, tak akan kembali dan posisi matahari tidak selamanya setentang di atas kepala).[1] ‘Emun beriring’, yang desain garisnya meliuk-liuk dan lepas, juga mengandung arti bahwa kehidupan ini tidak pernah akan berhenti berproses tanpa tapal batas dan bebas dari pelbagai ikatan hidup.

Dengan kata lain, keabadian itu adalah yang tidak abadi. Akan halnya dengan ‘tali puter tige’, merupakan simbol ketegaran, kekuatan, persatuan dan peluang. Inilah konsep perisai yang memberi ketegaran dan percaya diri saat berhadapan dengan pelbagai halangan yang melintang. Untuk itu, tidak ada prasyarat lain, kecuali persatuan yang diikat oleh rasa emosional dan rasa cinta ke-gayo-an yang melekat pada identitas dan bernas.

‘Tali puter tige’, juga menggambarkan kesempatan, yang pada pandangan orang gayo dan percaya bahawa ketangkasan, kecerdasan dan keberanian seseorang hanya boleh dicoba dan dibuktikan sebanyak tiga kali. Itu sebabnya, kecepatan kuda yang dipacu pada pentas pacuan kuda tradisional di gelanggang ‘Musara Alun dan Belang Bebangka’, klimaknya berlangsung pada putaran final sebanyak tiga kali keliling.

Jadi ‘Tali puter tige’ berhubung langsung dengan karakter budaya aktual. Selain itu, konsep ‘tali puter tige’ dapat dilihat pula pada ‘rempél’ rambut wanita gayo, yang diikat secara kemas dan manarik sebanyak tiga lipatan. Lipatan ganjil tersebut dipercayai lebih kuat dan bertahan. Ini dapat dibuktikan. Lebih dari itu, ‘tali puter tige’ diartikan sebagai asas manfaat (‘utilities’), yang boleh menghindari dari sifat mubazir, karena di mata orang, sesuatu yang wujud di dunia ini memberi makna: jika ‘konot kin penikot, naru kin penegu. Berarti, orang gayo tidak pernah kehilangan akal untuk memanfaatkan sesuatu, apa pun wujudnya. ‘Tuwis’ merupakan simbol pendidikan, keimanan, ketegaran dan kelenturan. Mengapa mesti “Tuwis” dan tidak menyodorkan pohon bambu? Karena pada pandangan orang gayo, proses pendidikan dan pengajaran dalam segala bidang akan berhasil jika dilakukan dari sejak awal lagi. Sejak kecil sudah dididik “Berbudi perangé den gelah jeroh lagu, berperi berabun bertungket langkahmu.” Pendidikan karakter, budi pekerti (moral) yang dilakukan sejak dini akan membawa impak positif kepada kalangsungan hidup seseorang. Artinya, jika bicara soal kegunaan bambu, maka sejak pada bentuk awal –tuwis– sudah memberi manfaat kepada manusia dan setelah dewasa –tengah kucak kin pong man, nge kul kin pong nomé- (sewaktu masih tuwis untuk sayur, sesudah besar untuk lantai atau luni, wau, seruwe, jangki, parok, suling, letep, terpèl, totor, peger den pepara.[2] Selain itu, tuwis berbentuk lancip –mengkerucut– yang melambangkan keimanan kepada ke-esaan Allah yang Maha kuasa dan Maha Tinggi. Tuwis adalah juga simbol kecerdasan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian pelbagai masalah hingga ianya mengkerucut kepada satu tujuan dan keputusan akhir yang akan diambil. ‘Peger’ adalah symbol atau pun konsep ketahanan dan perlindungan. Dalam konteks ini, masyarakat gayo mempunyai peradaban yang dikenal istilah ‘peger ni beden’, ‘peger ni keben dan ‘peger ni imen. ‘peger ni beden’ adalah ketahanan diri dari serangan penyakit yang diramu dengan mantra-mantera, supaya fisiknya sehat dan segar bugar; sementara ‘peger ni keben ‘ adalah sistem ketahanan pangan dan kekayaan (harta-benda) dengan cara menyimpan (saving) atau pun ‘reserve’ apabila terjadi bencana dan tindakan berhemat. Metodenya adalah, menyiapkan tanaman ‘gadung-kepile’ sebagai penopang dari makanan dan harta kekayaan utama –padi dan kopi– yang hanya digunakan untuk membiayai keperluan utama. ‘Peger ni imen’ itulah ‘sumang si opat’ yaitu standard moral, dimana ucapan mau pun prilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat gayo, yang dianggap ‘kemali’ (pantang), mancakupi ‘sumang penengonen’, ‘sumang pecerakan’, ‘sumang pelangkahan’ dan ‘sumang ‘kenunulen’, yang dipandang sebagai perisai untuk menjaga kemurnian iman dan adat gayo. ‘Sumang si opat’ tersebut sebagai aturan adat-istiadat masyarakat gayo yang berlaku dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sumang diartikan sebagai standard minimum dalam adat gayo yang menunjuk kepada pengertian sesuatu yang dianggap janggal dan tabu dari keseluruhan gerak/tingkah laku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Apabila disimak secara mendalam, konsep ‘sumang penengonen’ dalam adat gayo diadopsi dari pesan-pesan al-Qur’an sebagaimana dinyatakan: “…. hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya dan jangan menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat…;[3] Ketentuan ini berhubung kait dengan larangan yang menyebut: “Janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka (anak tiri), atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau sesama wanita…”[4] Aturan yang sama juga berlaku kepada kaum lelaki, “supaya menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.”[5] Ini menunjukkan bahwa standard nilai adat gayo yang berkaitan dengan adab, akhlak atau budi pekerti adalah implementasi langsung dari perintah Allah dalam al-Qur’an. Demikian pula ‘sumang pecerakan’, yang menuntut supaya kita menjaga kualitas pembicaraan dan hindari diri daripada nada suara yang dapat menyakiti perasaan orang lain, menimbulkan perasaan sakit hati, dendam dan fitnah, sehingga merusak tatatan adat-istiadat yang telah dikemas dalam tamadun gayo. Selain itu, orang dituntut supaya tidak bersikap sombong, angkuh dan takabur yang sesungguhnya dapat merendahkan derajat, martabat dan maruah pelakunya. Dalam kaitan ini dikatakan, ‘janganlah memalingkan wajahmu dari manusia, karena merasa diri sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.’[6] Budaya gayo memberi petuah supaya ‘sibijak kin perawah’, bukan “berperi sergak”. Oleh kerana itu al-qur’an menyampaikan pesan: “rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[7] Pesan ini sudah tentu ada kaitannya dengan “gerantang” dan “kelèmèng” dalam peradaban masyarakat gayo. Adab dalam tamadun Islam mensyaratkan, “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah kamu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”[8] dan “jika dikatakan ‘kembalilah’, maka hendaklah kamu pulang. Itu lebih suci bagi kamu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan.”[9] Berhubung dengan ‘sumang pelangkahan’, al-qur’an menyampaikan pesan sbb: “sederhanalah kamu ketika berjalan…”[10] Ini pesan moralitas yang sungguh mendalam artinya, karena dari cara dan gaya orang melangkah, kita dapat menangkap pesan dan faham karakternya. Umpamanya gaya orang berjalan dengan menunduk kepala[11], menantang asap/langit[12], memandang datar[13], melirik kanan-kiri,[14] muluncet/mulumpet, teragong, gentot, gedèp dan jalan ‘rodok pelu’[15]; yang dalam adat gayo semua mempunyai makna. Adab berjalan secara sibolik, telah digambarkan dalam qur’an bahwa: “janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.”[16] Ini pernyataan tentang ‘egoisme’ manusia yang tidak terpuji di mata Allah dan manusia. Dalam adat gayo, larangan tersebut dijabarkan kedalam bentuk kalimat, ‘ike ramalan enti gederdak, ike mujamut enti munyintak. Ada pernyataan lain dalam qur’an yang masih berkaitan dengan standard moral, yaitu: ‘janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka tersembunyi.’ Dalam sejarahnya, budaya melilitkan gelang emas yang berbunyi, merupakan budaya kaum jahiliyah sebedum datang peradaban Islam yang menyempurnakannya. ‘Sumang kenunulen’ adalah adab saat duduk. Dalam peradaban masyarakat gayo, tempat duduk menunjukkan status sosial seseorang –dihargai dan dihormati– dalam suatu majlis. ‘Sitetue kunul teruken, simemude kunul terduru dan Aman mayak/Inen mayak kunul atan ampang”. Artinya, masyarakat gayo mempunyai tatacara khusus cara memberi hormat kepada orang tua maupun kepada kedua pasangan pengantin yang duduk di tempat yang sudah disediakan, sekaligus membedakan tempat duduk kaum muda (beru/bujang). Kaula muda duduk di tempat khusus pula (tidak campur-aduk) dengan kaum tua. Dengan begitu, suasananya akrab. Hal ini dianggap logis, karena selain memudahkan berkomunikasi antara mereka, juga tidak tejadi percampur-bauran materi pembicaraan yang mungkin belum saatnya diketahui atau didengar oleh kaum muda. Aturan yang tidak tertulis ini, juga berlaku bagi kaum wanita yang tua dengan kaum remaja (beberu). Perempuan duduk bersimpuk –tidak boleh menyerupai gaya duduk kaum lelaki, apalagi meniru gaya duduk monyet ‘cengkung’ (duduk dengan merapatkan kedaua lutut dan mendekapnya dengan kedua tangan – Cino kepada (duduk orang China kalah judi) dan ‘tèngkang’ (ngangkang). Kaum wanita wajib menutup aurat, terutama bagian kaki, dada dan kepala dan tabuk untuk duduk ‘tèngkang’ (ngangkang). Type ukiran ‘ulen empat belas’ dalam kerawang gayo, merupakan simbol daripada imaginasi dan cita-cita tinggi, yang berharap menjadi penerang, pemberi pencerahan demi membangun peradaban manusia, agar mengamalkan nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang memancarkan sinar cahaya terang, pelita yang indah, syahdu dan damai. ‘ulen empat belas’ juga menggambarkan kecantikan (belangi), keanggunan dan panasnya cinta yang tidak membakar, tetapi hangat dalam rasa syahdu. Berangkat dari simbol ini, maka masyarakat gayo sebenarnya romantis yang sarat nilai-nilai keagamaan. Untuk difahami bahwa, warna dasar daripada opoh Kerawang gayo adalah warna hitam. Ini melambangkan warna ber-klass tinggi, abadi, anggun dan agung. Hampir semua warna pakaian kebesaran raja-raja berwarna hitam, selain warna kuning. Inilah yang membedakan antara peradaban orang gayo dengan peradaban bangsa lain. Di tengah-tengah warna hitam, terdapat bulatan putih, cahaya dan bulan purnama. Petuah adat yang terkandung didalamnya ialah nasehat: “jika masih ada secercah sinar di langit sebagai pelita hidup, maka lirikan matamu semestinya mengarah kesana, bukan kepada kegelapan yang mengitari dan melilitinya.” Dengan begitu, desain kerawang gayo merupakan rangkuman ataupun simbolik dari pelbagai aspek kehidupan manusia –imaginasi, indrawi beradab, resam, adat-istiadat, identitas dan kualitas budaya yang menghubungkan norma-norma yang bersumber dari al-Qur’an dengan kearifan, akal dan logika yang dianugrahkan Allah kepada budayawan gayo, sekaligus dituangkan dalam kalimat ‘Edet adalah peger ni agama’. Dengan perkataan lain ornamen kerawang gayo adalah kreasi yang sarat makna, pantulan moral dan keagungan imaginasi orang gayo. Terlepas daripada kemahiran kita, orang gayo senang berkata: “maté ni hukum wan ijtihad, maté ni edet wan Istana”.[] [1]. Lirik lagu Saladin (group Burak Terbang) [2]. Yusra Habib Abdul Gani, Gayo Di Mata Orang Gayo (Suatu Pendekatan Filosufis), Makalah pada acara Menatap Gayo, Hotel Lingeland, 2013. [3]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 31. [4]. Al-qur’an 31:18. [5]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 30. [6]. Surat Lukman, ayat 18. [7]. Surat Lukman, ayat 19. [8]. Surat An-Nur, ayat 27. [9]. Surat An-Nur, ayat 28. [10]. Ibid, ayat 19. [11]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang berilmu dan orang tua yang dihormati. [12]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang mempunyai kelainan jiwa. [13]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang normal dan kebanyakan orang. [14]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai kesalahan atau penakut. [15]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai sifat ceroboh dan gopoh. [16]. Surat Lukman, ayat 18.